(Foto ilustrasi - Istimewa)
Oleh: Imam M.Nizar, S.Pd
“Tidak semua galau itu tentang cinta,” ujar Gus Baha dalam sebuah tausiyah singkat melalui saluran resminya, Senin (3/11/2025).
“Ada seorang pendosa yang setiap hari berfikir, bagaimana ia ingin berubah dan tetap istiqomah di jalan Allah.” lanjutnya.
Narasi sederhana itu mengandung makna yang dalam, jika kita renungkan seksama. Bahwa, kegelisahan dalam hati seseorang tidak selalu pertanda kelemahan atau kerapuhan, melainkan bisa menjadi tanda bahwa fitrah imannya masih hidup.
Dalam Islam, galau karena ingin berubah justru merupakan panggilan lembut dari Allah agar manusia kembali kepada-Nya.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
لَهٗ مُعَقِّبٰتٌ مِّنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهٖ يَحْفَظُوْنَهٗ مِنْ اَمْرِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ وَاِذَآ اَرَادَ اللّٰهُ بِقَوْمٍ سُوْۤءًا فَلَا مَرَدَّ لَهٗ ۚوَمَا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّالٍ
“Baginya (manusia) ada (malaikat-malaikat) yang menyertainya secara bergiliran dari depan dan belakangnya yang menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka. Apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, tidak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
QS. Ar-Ra‘d:11
Ayat ini menegaskan bahwa perubahan besar selalu dimulai dari kegelisahan kecil di dalam hati. Dari rasa bersalah, dari penyesalan, dan dari tekad untuk memperbaiki diri. Maka, ketika seorang pendosa merasa resah atas dosanya, itu bukan akhir, justru awal dari perjalanan menuju ampunan Allah SWT
Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap anak Adam pasti berbuat dosa, dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah mereka yang bertaubat.”
(HR. Tirmidzi)
Galau karena putus cinta mungkin membuat seseorang kehilangan arah, bahkan bermuara akhir hidupnya tragis. Akan tetapi, galau karena dosa, justru bisa menuntun pada jalan terang.
Dalam diam, seorang hamba mungkin berjuang menaklukkan dirinya sendiri — berperang melawan nafsu, melawan kebiasaan lama, dan melawan bisikan yang terus menerus menjerumuskannya.
Istiqomah tidaklah mudah. Ia adalah proses panjang yang menuntut kejujuran kepada diri sendiri dan kesabaran dalam taubat. Namun sebagaimana janji Allah SWT dalam Al-Qur’an:
اِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ اَلَّا تَخَافُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَبْشِرُوْا بِالْجَنَّةِ الَّتِيْ كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah,” kemudian tetap (dalam pendiriannya), akan turun malaikat-malaikat kepada mereka (seraya berkata), “Janganlah kamu takut dan bersedih hati serta bergembiralah dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.””
QS. Fusilat ayat 30
Maka, galau yang dilandasi niat untuk kembali kepada Allah bukanlah kelemahan. Ia adalah bentuk cinta tertinggi — cinta seorang hamba yang ingin jalan pulang kepada Tuhannya.
Dan, di situlah, kata Gus Baha, “Galau menjadi indah, karena ia adalah jalan menuju ampunan dan istiqomah.” (KH/***)
