KABARHIBURAN.id – Mungkin memandang sosok seorang guru ngaji hanyalah seorang ustaz atau ustazah yang sangat sederhana, baik cara penampilan berpakaian atau kehidupannya. Ya, begitulah dunia menilainya.
Kesederhanaan ini membuat banyak orang tidak ngeh dalam keberadaan kesehariannya. Apalagi memperhatikan secara detail.
Mereka, para guru ngaji berkopiah nyaris lusuh atau ustazah yang baju gamisnya tak “penuh warna” untuk sering gonta-ganti dan tak jarang dirasani sendiri oleh para wali didiknya.
Guru ngaji, memang tidak semolek guru formal di sekolah sekolah. Mungkin, tidak rupawan, tidak cakap banyak bicara.
Bahkan, mungkin ada yang tidak gajian setiap akhir bulan. Apalagi, dapat tunjangan sertifikasi dari pemerintah. Jangan berharap deh.
Mereka mengajar ngaji tanpa gelar DARI disiplin ilmu keagamaan. Seperti gelar Sag dari Perguruan Ilmu Al Quran dan lainnya. Seperti dari STIT (Sekolah Tinggi ilmu Tarbiyah) semua ada gelar sarjananya.
Akan tetapi ustaz, banyak yang mengajar secara otodidak, dan ada juga yang berangkat dari pendidikan pesantren. Niat mereka mengajar karena Allah SWT.
Mengajar ilmu agama, memperkenalkan huruf huruf hijaiyah dalam metode iqro atau metode islah – memberantas buta aksara Al Quran – hanya sebagai bagian dari ibadahnya dan mengejar ridhoNya.
Sebab, dalam pandangan seorang muslim, berbuat baik kepada orang lain, sama halnya berbuat baik pada diri sendiri.
Hal seperti ini menjadi dasar bagi seorang muslim senantiasa memelihara kebaikan dan mengamalkanya. Termasuk, mengamalkan ilmu dan mengajarkan kembali pada sesama.
Allah SWT berfirman:
اِنْ اَحْسَنْتُمْ اَحْسَنْتُمْ لِاَنْفُسِكُمْ ۗوَاِنْ اَسَأْتُمْ فَلَهَاۗ فَاِذَا جَاۤءَ وَعْدُ الْاٰخِرَةِ لِيَسٗۤـُٔوْا وُجُوْهَكُمْ وَلِيَدْخُلُوا الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوْهُ اَوَّلَ مَرَّةٍ وَّلِيُتَبِّرُوْا مَا عَلَوْا تَتْبِيْرًا
“Jika berbuat baik, (berarti) kamu telah berbuat baik untuk dirimu sendiri. Jika kamu berbuat jahat, (kerugian dari kejahatan) itu kembali kepada dirimu sendiri. Apabila datang saat (kerusakan) yang kedua, (Kami bangkitkan musuhmu) untuk menyuramkan wajahmu, untuk memasuki masjid (Baitulmaqdis) sebagaimana memasukinya ketika pertama kali, dan untuk membinasakan apa saja yang mereka kuasai.”
Seorang guru agama, banyak tidak dikenalnya. Sebab, mereka lebih menekankan pada pencarian ridho Illahi.
Berbanding terbalik dengan guru-guru pada umumnya. Di mana, ketika anak didiknya meraih prestasi tertentu, imbas pun dirasakan gurunya dan gaung pun terdengar. Si guru pun ikut dikenal, bahkan terkenal. Oh, pantas, gurunya si Fulan.
Hem, untuk publikasi pun mereka banyak yang tidak berkenan. Penampilan sederhana, seadanya – terkesan kampungan – mempunyai makna tersendiri di era yang sudah amat sangat digitalisasi.
Di mata dunia, mereka tidak pernah diperhitungkan. Namun, jasa seorang guru ngaji amat sangat luar biasa.
Tidak bisa dinilai atau ditukar dengan apapun. Amal jariahnya mengalir sepanjang dunia masih berputar mengelilingi mata hari.
Selamat Hari Guru, khususnya untuk para guru ngaji. Semoga Allah SWT Selalu Meridhoi. (KH/Akizar)
