(Foto Ilustrasi - Istimewa)
Oleh: Imam M.Nizar, S.Pd
Hal yang tak bisa dipungkiri, banyak manusia di era masa kini, menuntut hasil yang instan.
Instan, ingin cepat pendapatannya lebih.
Instan, ingin cepat melesat dari yang lain.
Instan untuk lebih dikenal, dan lain sebagainya.
Tiga suara ulama besar, pesohor di negeri ini, hadir menenangkan jiwa umat. KH. Bahauddin Nursalim (Gus Baha), ustaz Abdul Somad, dan ustaz Adi Hidayat. Ketiganya seolah berpadu dalam satu irama keimanan yang sama, mengingatkan manusia agar kembali kepada hakikat ibadah, kesabaran, dan ketakwaan sebagai sumber ilmu dan kedamaian hidup.
“Kalau niat sholat hanya karena ingin diterima, itu nafsu. Niatlah karena engkau diciptakan dan ditakdirkan untuk sujud. Sebab faktanya, Gusti Allah memang pantas disujudi,” tutur Gus Baha dalam salah satu tausiyah singkat via saluran resmi, WhatsApp.
Kalimat sederhana itu menembus dasar jiwa paling dalam. Mengajarkan, bahwa ibadah sejati bukanlah transaksi antara manusia dan Tuhan, melainkan ekspresi fitrah makhluk kepada Sang Pencipta. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an, surah Adz-Dzariyat ayat: 56.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.”
Sujud, dalam pandangan Gus Baha, bukan hanya gerakan fisik. Tetapi puncak kesadaran spiritual, bahwa hidup ini sejatinya tentang penghambaan, bukan sekadar penerimaan amal.
Lalu, ustaz Abdul Somad (UAS) datang dengan pesan lembut namun tegas. “Doa itu bukan untuk mempercepat yang lambat, tapi untuk menenangkan hati bahwa semua ada waktunya.”
Dalam makna ini, doa bukan alat untuk memaksa takdir, melainkan jembatan yang menghubungkan hati dengan ketenangan Ilahi. Seperti dalam Allah berfirman di surah Al-Baqarah ayat 153.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ مَعَ الصّٰبِرِيْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”
UAS mengingatkan bahwa dalam doa tersimpan rahasia ketundukan: Kita menyerah bukan karena kalah, tetapi karena yakin bahwa waktu Allah selalu lebih indah dari waktu manusia.
Sementara itu, ustaz Adi Hidayat (UAH) menambahkan dimensi ketiga dari perjalanan ruhani ini. Ia berkata,
“Kalau pengetahuanmu ingin ditambah oleh Allah, kalau ingin mudah belajar dan kuat ingatanmu, tingkatkanlah takwamu kepada Allah. Maka Allah akan ajarkanmu ilmu.”
Pernyataan ini sejatinya menegaskan firman Allah di surah Al- Baqarah ayat 282.
Diujung ayat tersebut, Allah sendiri menegaskan;
“….. dan bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah mengajarkan kepadamu (ilmu).”
Bagi UAH, ilmu bukan sekadar hasil usaha intelektual, tapi buah dari kebersihan hati dan kedekatan dengan Allah. Takwa menjadi kunci terbukanya cahaya pengetahuan yang sejati — ilmu yang menuntun, bukan sekadar menambah hafalan.
Tiga pesan ini, bila dirangkai, menjadi satu kesatuan, membentuk jalan ruhani yang utuh.
Sujudlah karena cinta. Berdoalah karena yakin, dan belajarlah karena takwa.
Itulah jalan seorang hamba yang memahami makna hidupnya.
Bahwa setiap sujud menenangkan hati, setiap doa menumbuhkan sabar, dan setiap ilmu mempertebal iman.
Maka di tengah hiruk pikuk dan derasnya arus dunia, suara lembut para ulama ini mengingatkan:
Jangan tergesa ingin diterima, tapi pastikan hatimu tunduk.
Jangan gelisah menunggu jawaban doa, tapi yakinkan diri bahwa waktu Allah selalu tepat.
Dan jangan hanya menuntut ilmu, tapi tumbuhkan takwa — karena hanya dengan itu, Allah akan membuka pintu hikmah yang sejati.
“Barang siapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberinya jalan keluar dan rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka.”
(QS. Ath-Thalaq [65]: 2–3)
Di ujung perjalanan batin ini, kita belajar bahwa hakikat hidup bukan sekadar berbuat, tetapi menyadari untuk siapa kita berbuat.
Sujud bukan sekadar menundukkan kepala, tapi menundukkan ego di hadapan Sang Maha Tinggi.
Doa bukan sekadar kata-kata yang melangit, tapi bisikan hati yang percaya pada waktu Tuhan. Dan ilmu, bukan sekadar hafalan di kepala, tapi cahaya yang menerangi jalan hidup.
Maka tunduklah, tenanglah, dan teruslah terbimbing.
Sebab setiap langkah menuju Allah, sekecil apa pun, akan selalu dibalas dengan cinta yang tak terukur.
Dan di sanalah, di bawah sujud yang hening, dalam sabar yang panjang, serta di cahaya ilmu yang ikhlas — seorang hamba menemukan arti sejati dari ketenangan dan kebahagiaan yang abadi. (KH/***)
