
Foto ilustrasi - istimewa)
Oleh: Imam M.Nizar
Hal yang sederhana, ketika saya merenung — usai mendengarkan beberapa tausyiah dari ustaz Adi Hidayat dan ustaz Abdul Somad via saluran YouTube.
Yang namanya hawa nafsu itu dahsyat. Hawa nafsu itu ibarat bayangan gelap yang mengikuti setiap langkah manusia, kemana mereka pergi. Selama hawa nafsu dikendalikan, ia akan tunduk di bawah kendali iman.
Namun, ketika nafsu membelit hati nurani, cahaya kebenaran bisa tertutup, dan siapa pun, bahkan seorang tokoh yang sering kita lihat naik ke mimbar dan mihrab — tak luput dari kemungkinan tergelincir.
Allah sudah memperingatkan:
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya…” (QS. Al-Jatsiyah: 23).
Ayat ini menjadi cermin bahwa ilmu sekalipun bisa kalah oleh hawa nafsu, bila hati tidak dijaga dengan keikhlasan.
Ustaz Adi Hidayat pernah menegaskan, “Ilmu itu cahaya, tapi cahaya bisa padam bila wadahnya kotor. Banyak orang naik mimbar dengan membawa ilmu, tapi yang keluar bukan petunjuk, melainkan kebanggaan diri.”
Sebuah peringatan halus bahwa kedudukan di atas mimbar bukanlah jaminan keselamatan, jika hati tidak tunduk kepada Allah.
Ustaz Abdul Somad pun kerap mengingatkan via sabda Nabi Muhammad SAW.
“Yang paling aku takutkan atas umatku adalah pemimpin yang menyesatkan.” (HR. Ahmad).
Bukan hanya pemimpin politik, tetapi juga pemimpin agama, tokoh masyarakat, bahkan siapa pun yang didengar ucapannya. Ketika nafsu membalut lidah, khutbah bisa berubah menjadi propaganda, nasihat menjadi alat pamrih, dan mimbar kehilangan ruh hidayah.
Di sinilah letak filosofinya. Bahwa seorang tokoh hanyalah manusia biasa. Imannya bisa naik, bisa jatuh. Maka jangan letakkan iman pada sosok, seberapa pun tinggi kedudukannya. Letakkan iman hanya pada Allah, Sang Pemilik Kebenaran. Sebab tokoh bisa salah, tapi kalam Allah tidak pernah salah.
Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik yang bersalah adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi).
Artinya, bukan soal siapa yang paling tinggi dipandang, tetapi siapa yang paling rendah hati di hadapan Allah. Tokoh sejati bukan yang berlama-lama di mimbar atau di mihrab, melainkan yang sanggup meruntuhkan kesombongan dirinya di hadapan Allah.
Maka, bila suatu hari kita menyaksikan seorang yang kita tokohkan goyah oleh hawa nafsu, janganlah iman kita runtuh. Sebab agama ini bukan berdiri di atas pundak manusia, melainkan di atas wahyu Ilahi. (KH***)