
(Foto ilustrasi - Istimewa)
Oleh: Imam M.Nizar
“Kunci dari semua hal adalah sholat. Kalau kita masih sering berbuat salah, maka ada yang salah dalam sholat kita,” begitu ungkap ustaz Adi Hidayat dalam dakwah hariannya via saluran resmi WhatsApp, Senin (8/9/2025).
Kalimat sederhana itu terdengar menohok. Ia tidak memilih siapa yang terkena dampaknya. Dalam bahasa politik, ungkapan ini tak pandang bulu. Ia menyentuh siapa pun, baik pejabat maupun rakyat jelata, mereka yang jarang ke masjid ataupun yang setiap hari tak pernah absen di shaf pertama atau di mihrab.
Dalam bahasa agama, pesan itu mengingatkan kita bahwa sholat bukan sekadar ritual formal yang selesai ketika salam diucapkan. Ia adalah mi’raj ruhani, tempat seorang hamba berjumpa dengan Tuhannya. Rasulullah SAW bersabda:
“Sholat adalah tiang agama. Barang siapa mendirikannya, maka ia menegakkan agama. Barang siapa meninggalkannya, maka ia merobohkan agama.”
(HR. Baihaqi)
Namun, betapa sering kita menemukan realitas berbeda. Ada yang rajin ke mushola dan masjid, tetapi hatinya dipenuhi ujub—merasa lebih mulia dibanding jemaah lain. Seakan-akan hanya dirinya yang paling pintar, paling tahu, dan paling ahli ibadah. Padahal, sholat seharusnya melahirkan kerendahan hati, bukan kesombongan.
Al-Qur’an menegaskan:
Allah SWT berfirman:
اُتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗوَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ
“Bacalah (Nabi Muhammad) Kitab (Al-Qur’an) yang telah diwahyukan kepadamu dan tegakkanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Sungguh, mengingat Allah (shalat) itu lebih besar (keutamaannya daripada ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al-‘Ankabut [29]: 45)
Maka, jika sholat masih belum mampu menghalangi lidah dari ghibah, hati dari iri, dan langkah dari kemungkaran, boleh jadi ada yang keliru dalam cara kita menghadap Allah. Boleh jadi kita hanya sekadar melafalkan gerakan, tanpa benar-benar hadir dengan penuh hati.
Shalat adalah cermin kehidupan. Bila ia benar, kehidupan pun akan tertata. Bila ia salah, kehidupan pun mudah goyah. Seperti kunci yang tak pernah bohong: jika pintu tak terbuka, mungkin bukan pintunya yang rusak—tapi kunci yang kita gunakan belum tepat.
Sholat, jika ditunaikan dengan benar, mestinya menjelma dalam sikap sehari-hari. Ia bukan hanya hubungan vertikal dengan Allah, tapi juga menetes dalam relasi horizontal dengan manusia.
Lihatlah bagaimana Rasulullah SAW, sosok yang sholatnya paling sempurna, mencontohkan akhlak terbaik dalam kehidupan. Beliau jujur dalam berdagang, sabar ketika dihina, lembut kepada keluarga, dan penuh kasih kepada sesama. Sholatnya tidak berhenti di sajadah, tapi berdenyut dalam setiap tarikan nafas kehidupan.
Di kantor misalnya, seseorang yang menjaga shalatnya akan berhati-hati dalam bekerja. Ia menolak untuk berbuat curang, atau korup. Sebab, ia sadar setiap gerakan dalam shalat adalah pengingat bahwa Allah senantiasa mengawasinya.
Di jalan raya, sholat menuntunnya untuk bersabar, tidak mudah marah hanya karena macet. Bahkan ketika ada kesempatan untuk sombong—misalnya saat ia memiliki ilmu lebih atau kedudukan tinggi—sholat yang benar akan membuatnya tunduk, mengingat bahwa semua itu hanyalah titipan Allah.
Rasulullah SAW bersabda:
“Orang yang paling aku cintai dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah yang paling baik akhlaknya.”
(HR. Tirmidzi)
Maka, akhlak menjadi ukuran keberhasilan sholat. Bukan seberapa panjang doa yang kita baca, bukan pula seberapa rapat shaf kita berdiri, tetapi seberapa dalam shalat itu mampu membentuk karakter sehari-hari.
Karena pada akhirnya, sholat bukan hanya soal bagaimana kita bersujud di hadapan Allah, tetapi juga bagaimana kita berdiri di hadapan manusia —- yang setiap hari sebelum ajal tiba — setiap saat kita berinteraksi. Sudahkah kita berlemah lembut antar sesama? (KH/***)