
(Foto ilustrasi - istimewa)
Oleh: Imam M.Nizar
“Ketika orang-orang lain sudah belajar dan ngajar, ini mah baru mulai.”
Kalimat itu terdengar ringan di telinga, tapi terasa janggal bila keluar dari lisan seorang yang dianggap “tokoh agama”. Bukankah ia paham, dalam tradisi Islam, menuntut ilmu bukanlah sekadar “awal langkah”, melainkan perjalanan seumur hidup?
Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW. menegaskan:
“Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahat.” (HR. Baihaqi)
Pesan moralnya, bahwa ilmu tidak mengenal garis akhir. Dari ayunan gendongan ibu hingga detik terakhir kehidupan, seorang hamba tetaplah murid di hadapan Tuhannya. Maka, bagaimana mungkin belajar dan mengajar direduksi menjadi “baru mulai”?
Ketika Ilmu Direndahkan oleh Lisan
Ucapan yang menyepelekan proses belajar justru mengkhianati makna ilmu itu sendiri. Sebab, belajar dan mengajar adalah ibadah. Rasulullah SAW bersabda,
“Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Andai seseorang benar-benar memahami hadis ini, tentu ia akan berhati-hati menakar kata. Sebab, setiap kalimat yang keluar dari mulut seorang tokoh agama, akan menjadi cermin bagi umat. Bila cermin itu buram, yang tampak hanya keraguan.
Ulama Besar Tak Pernah Selesai Belajar
Sejarah membuktikan: ulama besar justru tak pernah merasa selesai dengan ilmunya. Imam Syafi’i, misalnya, masih mendatangi guru di usia matang. Imam Ahmad bin Hanbal tetap duduk di majelis ilmu meski sudah digelari “Imam Ahli Hadits”.
Bahkan, Imam Malik pernah berkata, “Setiap orang bisa diambil dan ditolak perkataannya, kecuali penghuni kubur ini,” sambil menunjuk makam Rasulullah SAW.
Mereka sadar, bahwa ilmu itu lautan, sedang manusia hanyalah setetes air. Maka, siapa yang berani mengklaim bahwa belajar dan mengajar hanyalah “permulaan”?
Kadang, kalimat yang meremehkan justru membuka tabir hati. Jangan-jangan, orang yang merasa sudah di puncak, malah lupa bahwa ilmu bukanlah tahta. Kesombongan kecil, bisa menjerumuskan. Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan sebesar biji sawi.” (HR. Muslim)
Satirnya amat sederhana, yakni seseorang boleh pandai berbicara, tapi jika lisannya merendahkan ilmu, bukankah itu tanda bahwa hatinya belum benar-benar diajari kerendahan?
Menjaga Lisan, Menjaga Marwah
Allah sendiri telah mengingatkan dalam surah Al-Mujadilah ayat 11:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Ayat ini seakan menyindir, bahwa kedudukan ilmu justru dimuliakan oleh Allah. Maka, bila manusia berani merendahkannya, sesungguhnya ia sedang menurunkan dirinya sendiri — karena memang, adabnya dikesampingkan.
Ucapan yang meremehkan belajar hanyalah bayang-bayang yang tak mampu menyamai cahaya ilmu itu sendiri. Karena ilmu sejati akan memuliakan, bukan merendahkan; membimbing, bukan menyesatkan.
Belajar adalah ibadah, mengajar adalah amanah. Maka, siapa pun yang berilmu seharusnya menjaga lisan—agar tidak mengerdilkan sesuatu yang justru membuatnya dihormati. (KH/***)