
(Foto ilustrasi - Istimewa)
Oleh: Imam M. Nizar
Di sepertiga malam yang senyap, ada jiwa yang resah gulana, bukan karena cinta yang tak terbalas. Bukan juga karena rindu yang tertahan. Ia resah dan gelisah karena dosa. Ia galau karena ingin berubah.
Di atas sajadah yang mulai basah oleh air mata, ia menunduk lama — mencoba berdialog dengan dirinya sendiri, memohon agar Allah menuntunnya menuju jalan yang benar.
“Tidak semua galau itu tentang cinta. Ada seorang pendosa yang setiap hari berpikir, bagaimana ingin berubah dan kekal beristiqomah di jalan Allah,” tutur Gus Baha dalam satu penggalan tausiyahnya yang disampaikan melalui saluran resminya di WhatsApp, Sabtu (4/10/2025).
Ungkapan sederhana itu mengandung makna dalam. Bahwa, kegelisahan jiwa bukan selalu tanda kelemahan, melainkan kadang justru tanda kehidupan rohani yang masih menyala. Galau yang lahir dari penuh kesadaran dosa adalah bukti bahwa hati masih hidup.
Allah SWT berfirman:
لَهٗ مُعَقِّبٰتٌ مِّنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهٖ يَحْفَظُوْنَهٗ مِنْ اَمْرِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ وَاِذَآ اَرَادَ اللّٰهُ بِقَوْمٍ سُوْۤءًا فَلَا مَرَدَّ لَهٗ ۚوَمَا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّالٍ
“Baginya (manusia) ada (malaikat-malaikat) yang menyertainya secara bergiliran dari depan dan belakangnya yang menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka. Apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, tidak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
QS. Ar-Ra‘d:11
Ayat ini menjadi cermin bagi jiwa-jiwa yang sedang menyesali masa lalunya. Galau yang berbuah perubahan adalah energi spiritual — langkah awal menuju hidayah. Ia seperti benih iman yang tumbuh di tanah air mata, menandakan keinginan untuk pulang kepada Allah.
Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap anak Adam pasti berbuat dosa, dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah yang bertaubat.”
(HR. Tirmidzi)
Hadis ini meneguhkan bahwa manusia bukan dinilai dari jumlah dosanya, tetapi dari seberapa dalam ia menyesalinya dan seberapa kuat ia berusaha memperbaikinya. Seorang pendosa yang terus gelisah karena ingin kembali kepada Allah, sejatinya sedang berada di jalan taubat.
Istiqamah memang tidak mudah. Ia bukan hanya tentang terus berbuat baik, tetapi juga tentang terus ingin memperbaiki diri meski sering jatuh. Tentang tak pernah menyerah meski kadang iman terasa goyah. Tentang terus mengetuk pintu ampunan, meski dosa terasa menumpuk.
Rasulullah SAW bersabda pula:
“Allah lebih gembira dengan taubat seorang hamba-Nya daripada kegembiraan seseorang yang menemukan kembali untanya yang hilang di padang pasir.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Maka jangan pernah malu dengan kegalauan karena dosa. Sebab di balik gelisah itu ada panggilan cinta dari Tuhan. Allah merindukan hamba-Nya yang ingin kembali. Selama hati masih menyesal, selama bibir masih mampu mengucap istighfar. (KH/***)