
Wisuda Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) di Auditorium Harris Hotel Conventions Festival Citylink, Bandung, Jawa Barat, Selasa (7/10/2025).
Oleh: Imam M.Nizar
Di tengah derasnya arus globalisasi dan kemajuan teknologi, manusia modern seringkali terjebak dalam hiruk-pikuk dunia yang mengasyikan.
Banyak arah yang mengejar pengetahuan duniawi demi gengsi dan materi. Akan tetapi, sedikit yang menapaki tangga ilmu untuk mendekat kepada Sang Pencipta.
Di sinilah letak pentingnya meningkatkan diri dalam ilmu pengetahuan formal di bidang keagamaan — sebuah jalan sunyi yang memadukan antara nalar, spiritualitas, dan adab.
Ilmu yang Mensucikan Akal dan Hati
Ilmu agama bukan sekadar hafalan ayat, deretan hukum fiqh, atau teori tafsir yang kaku. Ia adalah cermin kejernihan hati yang berusaha memahami pesan Ilahi di balik setiap firman.
Belajar agama secara formal berarti menata ulang cara berpikir — dari sekadar “tahu” menjadi “mengerti”, dari sekadar “beragama” menjadi “beradab”.
Melalui pendidikan formal keagamaan, seseorang belajar mengenali Tuhan dengan metode ilmiah, mengkaji syariat dengan dasar epistemologi, dan memaknai iman dengan logika yang terasah. Proses ini membentuk insan yang tidak hanya saleh secara ritual, tetapi juga matang secara intelektual.
Imam Al-Ghazali pernah berpesan, “Ilmu tanpa adab adalah kesesatan, dan adab tanpa ilmu adalah kebodohan.”
Keduanya harus berjalan beriringan — sebagaimana kepala tak akan tegak tanpa leher yang menyangga. Dalam pandangan dunia bisnis, mungkin hubungan yang tak mutualisme. Begitulah filosofinya.
Derajat Ilmu dalam Pandangan Ilahi
Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Mujadilah ayat 11:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
Ayat ini menjadi dasar spiritual bahwa ilmu bukan sekadar simbol kecerdasan, tetapi jalan menuju derajat kemuliaan di sisi Allah SWT. Ilmu yang dicari dengan niat ikhlas akan menerangi hati, menuntun langkah, dan mengangkat martabat manusia.
Rasulullah SAW pun bersabda:
“Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)
Maka setiap perjalanan menuju ruang kuliah, setiap ujian yang dihadapi, dan setiap catatan yang ditulis, semuanya bernilai ibadah, bila diniatkan untuk menegakkan agama Allah SWT.
Ilmu yang Menghidupkan Peradaban
Bangsa besar lahir dari masyarakat yang berilmu dan beradab. Lihatlah sejarah Islam, yakni para ulama, filosof, dan cendekiawan muslim seperti Imam Syafi’i, Al-Farabi, dan Ibnu Sina, semuanya tumbuh dari semangat keilmuan yang berakar pada iman.
Mereka membuktikan bahwa agama dan ilmu tidak berseberangan, justru saling melengkapi untuk membangun peradaban yang berkeadaban.
Kini, tugas itu berpindah kepada generasi kita. Meningkatkan diri dalam ilmu formal keagamaan berarti turut menjaga kesinambungan cahaya keilmuan Islam agar tidak padam ditelan zaman. Karena dari ruang-ruang kuliah dan pesantren, lahir ulama, pendidik, dan pemikir yang menuntun umat menuju cahaya kebenaran.
Belajar Sebagai Ibadah
Belajar agama bukan hanya kewajiban intelektual, tetapi juga ibadah spiritual. Ia adalah bentuk cinta kepada Allah dan Rasul-Nya — karena siapa yang mencintai, pasti ingin mengenal lebih dalam. Maka, setiap detik yang digunakan untuk menuntut ilmu sejatinya adalah langkah menuju ridho Ilahi.
“Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang lahad.”
Sabda Nabi ini bukan hanya anjuran, tapi kompas kehidupan.
Sebab ilmu bukan tujuan akhir, melainkan jembatan menuju pengenalan diri dan Tuhan. Dan pada akhirnya, orang yang terus belajar tentang agamanya akan menemukan bukan hanya ilmu, tetapi juga makna hidup yang sesungguhnya. (KH/***)