(Foto ilustrasi - istimewa)
Oleh: Imam M.Nizar
“Jika ilmu agama membuatmu membenci para pendosa. Maka, ada yang salah dengan pemahaman yang kamu pelajari. Teruslah belajar sampai kamu merasa bahwa orang lain semuanya baik. Dan, hanya dirimulah yang paling banyak dosa,” ungkap Gus Baha dalam tausiyah harian melalui saluran resmi WhatsApp, Kamis (16/10/2025).
Kalimat itu terdengar sederhana, namun sesungguhnya menyimpan kedalaman makna yang luar biasa.
Dalam tutur lembut dan khasnya, Gus Baha seakan ingin menegur lembut setiap hati yang merasa telah “selamat” karena pengetahuan agama yang dimilikinya. Namun, lupa bahwa hakikat ilmu bukanlah untuk meninggikan menara hati, melainkan untuk merendahkan hati.
Ilmu sejati, kata para ulama, bukan diukur dari seberapa banyak ayat yang dihafal, atau seberapa fasih seseorang berbicara tentang hukum-hukum Allah. Melainkan, seberapa dalam ilmu itu mampu menumbuhkan rasa kasih, empati, dan kerendahan hati terhadap sesama manusia—terlebih kepada mereka yang masih bergulat dalam dosa.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW
“Barangsiapa yang tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kasih sayang menjadi napas dakwah Rasulullah. Beliau tidak datang untuk menghakimi, melainkan untuk membimbing. Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan.
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
“Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.”
(QS. Al-Anbiya: 107)
Rahmat itulah inti dari ilmu agama. Bila ilmu membuat seseorang gemar menuding, menghakimi, dan merasa paling suci, maka sesungguhnya ilmu itu belum menyentuh mata air rahmah yang menjadi inti ajaran Islam.
Gus Baha ingin mengingatkan, bahwa perjalanan spiritual bukan tentang menjadi paling benar, tapi tentang terus memperbaiki diri.
Orang yang benar-benar berilmu justru merasa kecil di hadapan Allah, merasa takut akan amal yang belum tentu diterima, dan merasa malu kepada Tuhan atas dosa-dosanya yang tak terhitung.
Ia melihat kebaikan pada setiap orang, karena sadar, setiap manusia memiliki rahasia antara dirinya dan Allah. Barangkali yang tampak buruk di mata manusia, justru lebih dekat di sisi Tuhan karena tangis dan tobatnya di malam hari.
Seperti kata Ali bin Abi Thalib ra.:
“Jangan pernah meremehkan seseorang yang bermaksiat, mungkin saja dosanya menjadi sebab ia masuk surga karena tobatnya, sedangkan amalmu menjadi sebab engkau masuk neraka karena ujubmu.”
Dalam suasana dunia yang mudah menghakimi dan cepat menilai, pesan Gus Baha menjadi oase bagi jiwa. Ia menuntun agar setiap insan beragama dengan hati yang lembut, bukan lidah yang tajam. Bahwa jalan menuju Allah bukan hanya lewat ketaatan, tetapi juga lewat kerendahan hati untuk tidak merasa lebih suci dari yang lain.
Sebab, sebagaimana diingatkan dalam Al-Qur’an:
اَلَّذِيْنَ يَجْتَنِبُوْنَ كَبٰۤىِٕرَ الْاِثْمِ وَالْفَوَاحِشَ اِلَّا اللَّمَمَۙ اِنَّ رَبَّكَ وَاسِعُ الْمَغْفِرَةِۗ هُوَ اَعْلَمُ بِكُمْ اِذْ اَنْشَاَكُمْ مِّنَ الْاَرْضِ وَاِذْ اَنْتُمْ اَجِنَّةٌ فِيْ بُطُوْنِ اُمَّهٰتِكُمْۗ فَلَا تُزَكُّوْٓا اَنْفُسَكُمْۗ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقٰى ࣖ
“(Mereka adalah) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji. Akan tetapi, mereka (memang) melakukan dosa-dosa kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Mahaluas ampunan-Nya. Dia lebih mengetahui dirimu sejak Dia menjadikanmu dari tanah dan ketika kamu masih berupa janin dalam perut ibumu. Maka, janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia lebih mengetahui siapa yang bertakwa.”
QS. An-Najm:32
Maka, semakin tinggi ilmu seseorang, seharusnya semakin dalam pula rasa tawaduknya. Karena ilmu sejati bukan membuat manusia merasa paling benar, tetapi membuatnya semakin takut kepada Allah, sebagaimana firman-Nya:
وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَاۤبِّ وَالْاَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗ كَذٰلِكَۗ اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ
“(Demikian pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa, dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.”
QS. Fāṭir:28
Di sinilah letak hikmah dari pesan Gus Baha — bahwa ilmu tanpa kasih sayang adalah kebekuan hati, sedangkan ilmu yang disertai kerendahan hati adalah cahaya yang menuntun manusia menuju rahmat Allah. (KH***)
