Foto ilustrasi - iStock)
Oleh: Imam M.Nizar, S.Pd
Yang terlihat lazim, kasat mata pada kehidupan modern seperti yang sekarang kita rasakan ini. Manusia seolah berlomba tak henti hentinya menuntut lebih. Untuk lebih kaya, lebih tinggi, lebih dikenal, lebih bermarwah dan bermartabat untuk bisa lebih dihormati oleh sesama.
Ada tiga suara ulama yang mengingatkan kita untuk berhenti sejenak. Merenung, menundukkan pandangan, dan melihat kehidupan dengan kacamata akhirat — berusaha dengan hati yang lapang.
Ustaz Abdul Somad, misalnya, dalam salah satu tausiyahnya yang disampaikan melalui saluran resmi WhatsApp, Rabu (22/10/2025), menulis sebuah renungan yang sederhana namun menggugah jiwa.
“Manusia tidak akan pernah bersyukur kalau matanya terlalu lama melihat nikmat orang lain. Tapi ketika dia melihat kelebihan yang diberikan Allah kepada dirinya, lidahnya akan berkata Alhamdulillah, hatinya akan merasa cukup dengan pemberian Allah.”
Ungkapan itu mengajarkan tentang inti dari syukur—bukan sekadar ucapan di bibir, melainkan kemampuan hati untuk melihat kebaikan Allah pada diri sendiri.
Allah SWT berfirman:
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
“(Ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku benar-benar sangat keras.”
QS. Ibrāhīm:7
Namun, bagaimana mungkin seseorang dapat bersyukur, bila matanya tak pernah berhenti membandingkan? Maka, syukur sejati tumbuh dari kesadaran, bukan dari perbandingan.
Di sisi lain, Gus Baha, dalam tausiahnya yang juga disampaikan via saluran resmi WhatsApp, Kamis (23/10/2025) —menambahkan dimensi yang lebih dalam tentang perjalanan iman. Katanya dengan lembut,
“Nanti engkau akan paham tentang skenario Allah yang paling indah. Di saat engkau tidak berniat mencari sesuatu, tetapi Allah justru menghadirkan anugerah.”
Ungkapan itu adalah napas dari keyakinan terhadap takdir ilahi. Kadang manusia sibuk merancang langkah dan cita-cita, sementara Allah menulis jalan yang sama sekali tak terduga. Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda.
“Ketahuilah, apa yang menimpamu tidak akan meleset darimu, dan apa yang meleset darimu tidak akan menimpamu.”
Di situlah letak keindahan skenario Allah. Hadir, bukan ketika semua sesuai keinginan. Akan tetapi ketika hati belajar ridho atas segala ketentuan.
Sementara itu, ustaz muda Adi Hidayat mengajak umat untuk tidak alergi terhadap dunia, melainkan menjadikannya sebagai sarana menuju akhirat. Dalam tausiyah singkatnya yang disampaikan pada Senin (20/10/2025), beliau menegaskan,
“Mengejar dunia, kejarlah. Akan tetapi, hasilnya dikonversikan untuk bekal akhirat. Mengejar akhirat itu konsepnya bukan meninggalkan dunia, justru mengkreasikan dunia sehingga dia punya value akhirat. Kalau berniaga silakan, sesukses-suksesnya, sekaya-kayanya. Dan konversikan kekayaan itu untuk mencari bekal yang Allah sukai.”
Konsep ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Al-Qashash ayat 77.
وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ
“Dan, carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (pahala) negeri akhirat, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia. Berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Dunia, dalam pandangan Islam, bukanlah musuh. Ia adalah ladang tempat menanam amal, bukan tempat menetap selamanya.
Dari tiga pandangan ulama tersebut, tampak benang merah yang halus, tapi kuat. Yakni, Bersyukur, Beriman, dan Beramal adalah tiga pilar kehidupan seorang mukmin sejati. Bersyukur, menjernihkan hati dari iri. Beriman, menguatkan jiwa saat diuji. Dan, beramal menjadikan dunia sebagai jembatan menuju ridho Allah.
Hidup ini bukan tentang seberapa banyak yang kita miliki, melainkan seberapa tulus kita menggunakannya untuk kebaikan.
Karena pada akhirnya, sebagaimana pesan Rasulullah SAW. “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.” (HR. Ahmad).
Dan, dari setiap napas, setiap detik yang kita jalani ini, Allah sedang menulis kisah indah. Kisah yang hanya dapat dibaca oleh hati yang bersyukur, jiwa yang yakin. Dan, tangan yang selalu ingin berbuat baik. Bukan Kisah Kasih di Sekolah. (KH/***)
