(Foto ilustrasi - Shutterstock)
Oleh: Imam M.Nizar
Merujuk dari tausiyah harian ustaz Adi Hidayat yang disampaikan melalui saluran resminya via WhatsApp pada Rabu (15/10/2025), beliau mengingatkan dengan tutur lembut namun menembus relung jiwa paling dalam.
“Kita harus berubah. Kalau kita nggak berubah jadi baik, maka waktu kita terbatas. Suatu saat kita akan pulang menghadap Allah. Sudah, jangan fikirkan orang lain, fikirkan diri kita, fikirkan keluarga kita. Dan saling berbagi dengan yang lain dalam kebaikan. Kalau sudah istiqomah seperti itu, insya Allah, Allah akan jaga kita dalam kemuliaan.”
Kalimat itu tampak sederhana, tapi menyimpan kedalaman makna yang tak lekang oleh waktu.
Di tengah hiruk-pikuk dunia yang sering melalaikan, seruan untuk berubah menjadi baik adalah panggilan hati — bukan hanya untuk introspeksi, tetapi juga untuk menata arah hidup menuju ridho Allah.
Dalam pandangan Islam, perubahan bukanlah sekadar pergeseran perilaku lahiriah, tetapi juga transformasi batin. Allah SWT berfirman dalam Surah Ar-Ra’d
ayat 11:
لَهٗ مُعَقِّبٰتٌ مِّنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهٖ يَحْفَظُوْنَهٗ مِنْ اَمْرِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ وَاِذَآ اَرَادَ اللّٰهُ بِقَوْمٍ سُوْۤءًا فَلَا مَرَدَّ لَهٗ ۚوَمَا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّالٍ
“Baginya (manusia) ada (malaikat-malaikat) yang menyertainya secara bergiliran dari depan dan belakangnya yang menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka. Apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, tidak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.”
Ayat ini menegaskan, perubahan sejati lahir dari kesadaran diri. Bukan karena dorongan dunia, melainkan karena panggilan iman. Manusia dituntut untuk menata hati, memperbaiki amal, dan meneguhkan niat agar langkah-langkah hidupnya tidak sia-sia di hadapan Allah.
Ustaz Adi Hidayat dalam tausiyahnya seolah ingin menggugah: berhentilah terlalu banyak menilai orang lain. Karena sejatinya, perjalanan menuju Allah adalah perjalanan pribadi. Setiap jiwa akan kembali sendiri, mempertanggungjawabkan amalnya sendiri. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Mudatsir ayat 38:
Allah SWT berfirman:
كُلُّ نَفْسٍۢ بِمَا كَسَبَتْ رَهِيْنَةٌۙ
“Setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah ia lakukan,”
QS. Al-Mudatsir: 38
Dalam kehidupan modern yang sering menuntut kesempurnaan lahiriah, manusia kadang lupa menata ruang batin.
Padahal, inti dari perubahan yang diridhoi Allah bukan terletak pada penampilan atau status sosial, melainkan pada kemurnian niat dan ketulusan amal. Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Maka, perubahan yang sejati adalah perubahan yang lahir dari niat tulus karena Allah — perubahan yang membawa kita lebih dekat pada kebaikan, lebih lembut pada sesama, dan lebih dermawan dalam berbagi.
Ketika seseorang mulai berpikir bukan sekadar untuk dirinya, tapi juga untuk keluarganya, lalu melangkah untuk memberi manfaat kepada orang lain, di situlah kemuliaan hidup mulai tumbuh. Allah menjaga orang-orang yang beristiqomah di jalan kebaikan, sebagaimana dijanjikan dalam Surah Fussilat ayat 30:
Allah SWT berfirman:
اِنَّ الَّذِيْنَ قَالُوْا رَبُّنَا اللّٰهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوْا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلٰۤىِٕكَةُ اَلَّا تَخَافُوْا وَلَا تَحْزَنُوْا وَاَبْشِرُوْا بِالْجَنَّةِ الَّتِيْ كُنْتُمْ تُوْعَدُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah,” kemudian tetap (dalam pendiriannya), akan turun malaikat-malaikat kepada mereka (seraya berkata), “Janganlah kamu takut dan bersedih hati serta bergembiralah dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan kepadamu.”
QS. Fuṣṣilat:30
Tausyiah singkat itu bukan sekadar nasihat keagamaan, melainkan refleksi mendalam tentang arah hidup. Ustaz Adi Hidayat mengingatkan, waktu kita di dunia amat terbatas— setiap detik adalah kesempatan untuk berbenah.
Dan barangkali, dalam kesederhanaan tutur itu, tersimpan pesan paling luhur. Yakni, perubahan adalah bentuk cinta kepada Allah.
Karena dengan berubah menjadi baik, kita sedang menyiapkan diri untuk pulang — pulang dengan hati bersih, amal yang tulus, dan keyakinan bahwa Allah akan menjaga kita dalam kemuliaan yang abadi. (KH***)
