Smile Train Indonesia memberikan operasi gratis bagi anak-anak dengan bibir sumbing dari keluarga kurang mampu. (Foto: Dok Smile Train Indonesia)
KABARHIBURAN.id – Anak-anak dengan bibir sumbing atau celah langit-langit mulut tak jarang mendapatkan perlakukan berbeda.
Bahkan, mereka mengalami bullying ketika berusaha berbaur bersama teman-teman sebayanya.
Dan lebih diperparah lagi, keluarga, seperti saudara atau orang tua kurang memberikan perhatian. Sebaliknya, malah menganggap, anak dengan bibir sumbing itu memalukan atau aib.
Perlakuan berbeda ini, dapat membuat kesehatan mental anak terganggu dan merasa tidak dicintai.
Mengacu data dari Smile Train, terdapat 540 bayi di dunia dan 1 dari 700 bayi di Indonesia terlahir dengan kondisi sumbing.
Nah, jika tidak ditangani dengan segera, berpotensi memberi dampak pada fisik, tetapi juga dari segi psikis.
Hanlie Muliani, M.Psi, Psikolog Klinis, Sahabat Orang Tua & Anak (SOA) Parenting & Education Support Center mengatakan, perbedaan fisik ini, membuat seorang anak mengalami penolakan dari lingkungan terdekat.
“Hal ini akan membuat anak tidak percaya diri, bahkan tidak jarang anak juga merasa cemas dan menyerah terhadap masa depannya,” kata Hanlie Mulyani di acara webinar bertajuk ‘Stop Bullying Bibir Sumbing!’ belum lama ini.
Lebih lanjut ia memaparkan, dengan adanya perbedaan fisik, anak dengan bibir sumbing mengalami dampak psikis yang bisa berasal dari dalam maupun dari luar dirinya.
Misalnya, si anak merasa tidak seberuntung anak-anak lain, merasa diperlakukan tidak adil, hingga mengalami penolakan dari lingkungan sekitar berupa intimidasi, ejekan bahkan pengucilan,
Menurut Hanlie Mulyani, kondisi ini terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat akan apa itu bibir sumbing dan bagaimana harus menyikapinya.
“Jika dibiarkan terus menerus, anak dapat merasa minder, putus asa, dan kecewa dengan kehidupannya,” katanya.
Lantas, apa yang harus dilakukan untuk menjaga kesehatan mental anak penderita bibir sumbing?
Peran Orang tua
Hanlie menjelaskan, hal pertama yang harus dilakukan orang tua adalah mendukung anak.
“Sebagai orang tua tidak ikut merundung, menyingkirkan, atau diumpet-umpetin gitu anaknya agar anak merasa ia dicintai,” katanya.
Ia berpendapat, dengan menerima, mendampingi anak dan tidak menganggapnya memalukan saja, sudah memberi kekuatan dalam diri anak.
Hasilnya, anak akan lebih percaya diri meski orang-orang di sekitarnya menganggapnya dengan sebelah mata.
Orang tua pun harus berusaha menanamkan semangat pada anak dengan mengatakan bahwa meski berbeda, bibir sumbing bukan penghalang anak untuk berprestasi.
“Kita memang tidak bisa merencanakan kelahiran, namun kita bisa merencanakan masa depannya,” ujarnya.
Hanlie juga mengatakan, pihak eksternal seperti bidan atau dokter yang membantu proses melahirkan seorang ibu dengan anak yang memiliki bibir sumbing, bisa membantu menjaga kesehatan mental ibu.
Dengan menenangkan dan mengatakan bahwa anak dengan bibir sumbing itu bisa dioperasi saat sudah berusia tiga bulan misalnya.
“Dengan begitu, ibu pun akan lebih tenang dan akan menerima anaknya karena ia paham bahwa tidak ada yang salah dengan anak yang dilahirkannya,” kata Hanlie.
Rasa Empati
Selain itu, kita juga perlu mengedukasi anak yang memiliki saudara atau teman dengan bibir sumbing agar perundungan atau rasa malu tidak terjadi.
Menurut Hanlie, edukasi ini bisa dilakukan dengan cara menumbuhkan rasa empati anak.
Misalnya, dengan mengatakan, “Coba lihat deh, kira-kira, ada nggak orang yang bisa merencanakan mereka ingin dilahirkan seperti apa atau dengan fisik seperti apa? Nah, teman atau saudaramu juga sama,” kata Hanlie.
Dan bagi anak dengan bibir sumbing yang dirundung, orang tua perlu mendukung moral atau meminta anak agar asertif.
“Katakan pada anak jika di-bully, dia harus asertif atau berani melawan,” ujar Hanlie.
Dia menambahkan, tindakan operasi juga perlu disertai dengan penanganan komprehensif yang meliputi pendampingan psikologis, baik kepada pasien maupun keluarganya.
Kesehatan Mental Anak
Dalam kesempatan itu, turut dilakukan pemutaran video dengan tema, ‘Stop Bullying Bibir Sumbing!’ dari Smile Train Indonesia.
Tujuannya, untuk menggugah dan meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kesehatan mental anak yang mengalami bibir sumbing.

Deasy Larasati, Country Manager Smile Train Indonesia mengatakan, kisah para pasien yang kerap mendapat perundungan atau pengucilan di lingkungannya selalu membuat mereka tersentuh.
“Untuk itu, kami melihat pentingnya upaya nyata untuk meluruskan pola pikir ini, melalui edukasi kepada keluarga pasien dan masyarakat luas, serta dimulainya kampanye Stop Bullying Bibir Sumbing!,” katanya.
“Melalui kampanye ini, kami mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk menghentikan segala bentuk bullying kepada mereka yang memiliki kondisi bibir sumbing. Mari kita sama-sama lindungi senyum dan kesehatan mental mereka, untuk memberikan mereka masa depan yang lebih cerah,” kata Deasy lagi.
Sejak tahun 2002, Smile Train Indonesia telah memberikan operasi gratis kepada lebih dari 95,000 anak di penjuru Nusantara.
Smile Train mengusung program Comprehensive Cleft Care (CCC) yang meliputi edukasi memahami kondisi sumbing, operasi, pelayanan terapi wicara, hingga konseling dan dukungan kesehatan mental.
“Apa yang kami lakukan bersama para mitra, semuanya secara gratis,” kata Deasy. (KH/ian)
