(Foto ilustrasi - id.pinterest.com)
Oleh: Imam M.Nizar
Pagi ini, pikiranku agak sedikit terganggu atas perbincangan semalam dengan teman lama yang lama tak jumpa, di Caffe Jambul. Suna — begitu ku sebut namanya saat kami masih duduk di bangku SMA dulu. Ia datang tepat waktu atas janjinya minta bertemu aku.
Hem, seingat aku, ia pernah berkabar padaku dua tahun silam. Bahwa, dirinya baik-baik saja. Dan, kariernya sebagai dosen Bimbingan Konseling pun di kotanya cukup cemerlang.
Akan tetapi, malam itu, ada getar di balik senyumnya. Tatap matanya dalam, namun tak setenang kabarnya dulu. Sesekali ia menatap keluar jendela kaca, malam itu gerimis —- seolah menimbang sesuatu yang sulit ia ucapkan. Keluh.
“Aku sering baca tulisanmu dulu,” katanya pelan. Di rubrik Tajuk Utama, Tabloid Mingguan bergengsi untuk kaum wanita. Selalu membuatku merasa sedang duduk di bangku tua taman kota, mendengarkan cerita.”
Aku hanya tertawa kecil. “Itu dulu, Sun. Sekarang semuanya berubah. Tabloid, koran cetak dan sejenisnya digilas waktu. Digantikan layar, algoritma dan artificial Intelligence atau AI.
Suna mengangguk, lalu ia menghela napas. “Tapi ada hal-hal yang tak bisa digantikan. Seperti rasa, dan manusia di balik tulisan itu, Zar” katanya pelan, seraya menyebut nama belakangku.
Hem …ada hening menggeliat beberapa detik. Kopi senja kami pun mendingin, dan malam makin lengang.
“Aku minta ketemu bukan cuma untuk nostalgia,” katanya kemudian. “Aku sedang resah. Dalam posisiku sekarang, sebagai dosen dan konselor, aku tahu pentingnya menjaga batas… Tapi rasanya makin sulit.”
Aku menatapnya. Tidak buru-buru bertanya. Kenapa? Ada apa? Aku tahu, kadang yang dibutuhkan seseorang bukan pertanyaan, tapi telinga yang lebih tajam untuk tak menginterupsinya.
“Ada mahasiswa… Dia seperti mengingatkanku pada masa kita dulu. Pandangannya tajam, pikirannya liar, dan sering kali menulis hal-hal yang membuatku berpikir ulang tentang hidup dan kehidupan ini.”
Suna berhenti, lalu menunduk perlahan. Jari jemari terlihat agak bergetar ….
“Kau tahu rasanya?” bisiknya. “Ketika yang kita ajarkan, justru mengusik ruang-ruang yang tak pernah kita bereskan dalam diri sendiri? ” lanjutnya.
Aku memalingkan pandangan sejenak, menghela napas — merasa seolah ditampar kenyataan. Entah itu suara Suna, atau gema dari cermin hidupku sendiri. Gerimis di luar semakin lebat. Hujan.
“Aku tahu, Sun,” kataku pelan. “Karena aku juga masih mencintai sesuatu yang barangkali tak semestinya.” sambungku. Suna menundukan kepalanya — seraya tanganya memainkan tutup kutek herbal.
Dan, malam itu, dua orang dewasa yang pernah sama-sama remaja, duduk dalam diam saling memahami.
Tak perlu banyak kesimpulan. Dunia boleh terus berputar dan berlari. Tapi malam itu, kami sempat berteduh dalam ingatan — dan kenyataan yang tak seluruhnya mudah dicerna.
Kuambil handuk kecil di ruang cucian untuk mengelap wajah ku dari guyuran air shower agar kelihatan segar. Jujur pagi itu aku malas mandi pagi.
Pekan berikutnya, kami pun sepakat untuk jumpa kembali, di tempat yang sama, Caffe Jambul.
Malam janjian itu hujan lebat dan udara menghembus dingin. Handphone ku berdering dengan alunan lagu kesukaanku, penuh kenangan di Rancaekek ” Iya Suna….,” jawabku dari suara di seberang sana.
Aku mengangguk angguk saja mendengarkan omongannya. “Baiklah, salam dari aku ya buat orang tuamu,” ujarku pada Suna yang menangguhkan janji untuk tak bisa ketemu malam itu. Bukan karena hujan lebat, lebih kepada sang ibu akan datang dari Cibiru, Bandung — membawa cemilan kesukaan Suna, yakni rengginang.
Aku sedikit melanjutkan pekerjaan ku di rumah. Baru saja memindahkan beberapa buku dan naskah lama dari kotak kardus di gudang. Di antara lembar-lembar berita usang, aku menemukan sepucuk amplop merah muda yang sudah memucat. Nama pengirimnya ditulis dengan tulisan tangan yang sudah sangat kukenal stylenya.
Suna.
Cirebon, 19 Oktober 2014.
Kutatap amplop itu lama. Entah mengapa dulu tak pernah kubuka. Atau mungkin sudah kubaca, tapi memilih melupakan isinya. 19 Oktober tanggal dan bulan kelahiranku. Pikirku.
Dengan jemari gemetar, kubuka perlahan. Di dalamnya, selembar kertas berisi tulisan tangan yang masih terjaga rapi:
Untukmu Yang Pernah Membuat Pagiku Penuh Makna.
Mungkin kau tak sadar bahwa tulisan-tulisanmu bukan hanya di Tajuk Utama menyoroti dunia selebritis. Sesuai dengan taglen mediamu itu. Suara rakyat kecil pun menjadi “santapan” pemberitaan, sejauh berkait dengan artis dangdut mendadak ngetop datang dari desa terpencil perekonomian minim.
Bagi seseorang sepertiku, itu adalah jendela — ke luar dari keraguan, dan ke dalam diri sendiri.
Ada satu edisi yang tak pernah bisa kulupa: “Perempuan di Ujung Trotoar.”
Kau tak sebutkan nama, tapi aku tahu itu tentang aku. Tentang kita. Aku tahu, kau juga pernah gabung di sanggar Trotoar di Pisangan — rumah keluarga besar mu itu. sebelum dirimu pindah ke Depok.
Waktu memisahkan banyak hal, tapi tak pernah berhasil meredam tanya yang belum sempat kuutarakan.
Apakah rasa yang tumbuh diam-diam, salah hanya karena tak sempat menjadi nyata?
Jika suatu hari kita bertemu lagi — entah di simpang jalan yang tak terduga, atau dalam kopi senja yang diseruput perlahan — mungkin aku cukup berani untuk bertanya padamu, Zar.
Masihkah kau menulis? Atau kau berhenti, seperti aku yang pernah berhenti berharap?
Suna.
Kuraih ponselku. Layar menampilkan nama “Suna” di daftar terakhir pesan malam itu. Jari-jariku melayang ragu, lalu akhirnya menulis juga.
“Aku temukan suratmu. Perempuan di ujung trotoar tak pernah benar-benar pergi. Kita masih punya pagi, bukan?”
Belum sempat ku kirim, ponselku bergetar. Pesan dari Suna.
“Boleh aku kirimkan sesuatu? Ada tulisan dari mahasiswaku. Ia memintaku mengomentari, tapi aku merasa kau lebih pantas membacanya.”
Aku membalas singkat, “Kirim saja. Aku akan membacanya penuh hati.”
Dan, malam itu, saat lampu-lampu di komplek perumahanku, Vila Pamulang mulai meredup, aku tahu kisah ini belum selesai. Masih ada kata-kata yang ingin ditemukan. Masih ada perasaan yang mencari bentuknya. Ya Tuhan…….
Pagi itu, Suna mengirimkan pesan suara singkat.
“Aku titip tulisan ini lewat email. Bacalah pelan-pelan. Ini bukan sekadar tugas kuliah…”
Kutautkan pandang ke layar laptop. Sebuah file berjudul: “Surat Terbuka Dari Peserta Didik – oleh A.”
Kubuka. Dan inilah isinya:
Kepada Bunda Suna, dosen yang tak hanya mengajarkan teori, tetapi juga diam-diam menjadi inspirasi…
Saya tahu, mungkin saya terlalu lancang menulis ini. Tapi kalau saya terus memendamnya, saya takut kehilangan keberanian selamanya.
Sejak semester awal — saat pelajaran hypnoteaching di “gunung” rumah bunda itu, saya sudah merasa ada sesuatu yang berbeda.
Bukan karena Bunda cantik — walau itu benar adanya.Tapi lebih kepada tatapan bunda, setiap kali menjelaskan konsep empati atau trauma masa kanak-kanak, seolah sedang bercerita tentang diri bunda sendiri.
Saya sering melihat bunda duduk sendiri di ruang dosen, menatap luar jendela, seperti sedang berbicara dengan seseorang di dalam hati. Lama-lama, saya merasa ingin tahu lebih banyak tentang siapa bunda…. dan akhirnya, saya ingin lebih dekat.
Saya tidak sontoloyo. Saya tahu batas antara mahasiswa dan dosen. Saya tahu ini bisa disebut salah. Tapi saya juga tahu, perasaan bukan sesuatu yang bisa dikendalikan seperti jawaban UTS atau UAS.
Saya menulis ini bukan untuk menuntut balasan. Saya hanya ingin jujur. Bunda pernah bilang, kejujuran adalah bentuk tertinggi dari konseling diri.
Jadi, inilah kejujuran saya: Saya mencintai bunda dalam diam. Dalam hormat. Dalam segala keterbatasan.
Dan, jika cinta ini hanya bisa tinggal dalam tulisan… Biarlah ini menjadi tulisan yang tak pernah bunda baca. Tapi jika suatu hari bunda membaca ini, dan tidak merasa marah, mungkin… cukup itu saja. Saya tidak sendiri dalam rasa ini.
Dari A.
Aku mengangkat kepala, nafas mendadak berat. Tulisan itu… terasa seperti gema dari masa mudaku. Seolah aku membaca surat yang tak pernah berani kukirim untuk Suna dua puluh tahun lalu.
Kuketik pesan pada Suna
“Dia menulis dengan hati. Tapi juga menaruh beban besar di pundakmu. Apa kau baik-baik saja?”
Suna membalas cukup lama. Kemudian
aku terdiam lama membacanya. Mungkin karena… aku pernah menulis surat yang hampir sama. Untuk seseorang yang kini membaca ini juga.
Aku merebahkan kepala — memejamkan mata. Dunia ini kecil dan lucu. Yang tak bisa kita miliki di masa lalu, datang kembali dalam wujud yang berbeda. Ya Tuhan……
Depok, 19 Mei 2025
